(klikus) Sebulan terakhir ini masyarakat Bali disuguhkan sebuah realitas hukum
yang menarik: Gubernur Bali Made Mangku Pastika menggugat Harian Bali
Post. Sebagaimana diberitakan Harian Radar Bali 16 Desember 2011 halaman
1 dengan judul Disuruh Damai, Pastika malah Ingin Pidana , Mangku
Pastika menggugat secara perdata Bali Post digugat dengan nilai kerugian
inmateriil mencapai Rp 150 milyar dan kerugian materiil dengan gugatan
senilai Rp 170 juta. Bahkan, sebagaimana diberitakan Nusa Bali, Jumat 16
Desember 2011, Gubernur Bali menegaskan dirinya siap berperkara dengan
Bali Post seumur hidup untuk memenuhi mekanisme jalur hukum yang
ditempuhnya.
Kasus ini bermula dari pemberitaan Harian Bali Post tanggal 19
September 2011, yang memuatheadline di halaman 1 media tersebut berita
berjudul, “Pascabentrok Kemoning-Budaga, Gubernur: Bubarkan Desa
Pakraman.’’ Mangku Pastika merasa bahwa pihaknya tidak pernah
melontarkan statemen tersebut. Mangku Pastika menjadi lebih geram
kembali, ketika ucapannya di hadapan Sidang DPRD Bali, menurut Mangku
Pastika, diplintir kembali oleh Bali Post. Merasa dikerjain berkali-kali
akhirnya Mangku Pastika mengajukan gugatan perdata. Sebagaimana
diberitakan Fajar Bali Senin (19/12/2011) di halaman 1, mantan Kapolda
ini menceritakan yang terjadi. Berikut dikutipkan berita berjudul Mangku
Pastika Bantah Kekang Kebebasan Pers sebagai berikut:
Saya tak pernah bikin kasus. Yang bikin kasus itu Bali Post cq Satria Naradha (Pemimpin Umum Bali Post-red). Bukan orang lain.
Di bagian lain berita tersebut, ditulis bahwa gugatan perdata
tersebut tidak muncul begitu saja melainkan melalui sejarah yang cukup
panjang. Ia merasa dirinya teraniaya cukup lama oleh serangkaian
pemberitaan Bali Post. Puncaknya adalah pemberitaan tanggal 19 Desember
2011 tersebut.
Berangkat dari realitas tersebut, makalah ini mencoba membedah kasus
pemberitaan ini dari perspektif hukum pers (khususnya UU Nomor 40 Tahun
1999 tentang Pers) dan etika pers (khususnya Kode Etik Jurnalistik).
II. Fakta dan Analisa
2.1. Substansi Berita Bali Post
Bahan berita bermula dari kunjungan Gubernur Bali ke Kabupaten
Klungkung untuk menengok korban yang dirawat di rumah sakit akibat
bentrokan yang terjadi antara warga Desa Adat Kemoning dan Desa Adat
Budaga. Bentrokan terjadi Sabtu sore pukul 16.00 akibat rebutan Pura
Dalem antara kedua desa adat. Kunjungan Gubernur didahului di Kantor
Bupati Klungkung diterima oleh Wakil Bupati Klungkung dan Sekda
Klungkung, dilanjutkan kunjungan ke rumah sakit menengok korban.
Wartawan Bali Post yang bertugas di Kabupaten Klungkung Sdr. Bali
Putra tidak pernah meliput kegiatan kunjungan Gubernur Bali itu secara
langsung. Ia tidak pernah ada di lokasi karena sedang meliput kegiatan
lain yang dilakukan Wakil Gubernur Bali Puspayoga di lokasi lain (pada
19 September 2011 ada berita di Bali Post dengan judul W
agub Bantu KK Miskin, Desa Pakraman Benteng Jaga Bali). Sedangkan
wartawan Bali Post bisa menulis berita karena mendapat bahan dari
wartawan TVOne Ida Bagus Mahendra. Dari fakta ini dapat dikatakan bahwa
Bali Post tidak pernah meliput peristiwa itu secara langsung, namun
memperoleh bahan berita dari orang lain.
2.2 Perspektif Hukum Pers
Berdasarkan fakta-fakta tersebut, dilihat dari aspek hukum pers, Bali
Post telah melakukan pelanggaran hukum khususnya Pasal 5 UU Nomor 40
Tahun 1999. Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 40 Tahun 1999 menyatakan:
Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan
menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas
praduga tak bersalah.
Dalam konteks masalah ini, Bali Post kurang mampu menempatkan lembaga
desa adat sebagai pranata agama Hindu di Bali yang mesti dihormati.
Logika hukum dan adat di Bali dengan cepat bisa dipahami, bahwa desa
adat tidak dapat dibubarkan oleh pihak manapun. Maka, menjadi amat
ganjil pemberitaan pembubaran desa adat namun tidak berdasarkan fakta.
Seharusnya Bali Post melakukan selfsensorship sebelum berita itu
diturunkan, apa benar ada gubernur yang berani membubarkan desa adat?
Apa latar belakangnya? Apa alasan-alasannya? Ternyata dalam tubuh berita
tidak ada paparan yang menjawab semua pertanyaan itu. Bali Post hanya
menulis satu kalimat yang menjelaskan pembubaran desa adat itu di
paragraf pertama:
Gubernur Mangku Pastika bereaksi keras atas bentrok Kemoning-Budaga
yang menewaskan satu orang dan puluhan luka-luka. Gubernurpun
mengeluarkan statemen agar desa pakraman dibubarkan.
Selanjutnya dalam berita berisi 15 paragaraf itu tidak pernah
terjelaskan desa pakraman mana yang dibubarkan, mengapa dibubarkan,
bagaimana alasan-alasannya, bagaimana mekanisme pembubaran dan
seterusnya. Berita hanya berhenti pada statemen gubernur tersebut dan
selesai tanpa penjelasan apapun.
Bahwa realitas wartawan Bali Post tidak ada di lokasi namun membuat
berita tersebut, dalam konteks UU, dikategorikan tidak menghormati rasa
kesusilaan masyarakat. Bukankah bersikap jujur dalam mencari berita
adalah salah satu sikap kesusilaan yang hidup di tengah masyarakat
sebagai antipati perilaku bohong?
UU Nomor 40 Tahun 1999 pada pasal 6 huruf c menyatakan Pers nasional melaksanakan peranannya sebagai berikut:
c. mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, makna “tepat’ adalah betul atau
lurus. Makna ‘’akurat’’ adalah teliti; saksama; cermat. Sedangkan makna
‘’benar’’ adalah sesuai sebagaimana adanya (seharusnya). Amat jelas jika
Bali Post menjadi sumir dalam pemberitaan kasus ini sehingga
informasinya tidak tepat, akurat dan benar, karena proses memperoleh
informasi itu dilakukan dengan cara-cara yang tidak benar. Apakah betul,
Mangku Pastika hendak membubarkan desa pakraman? Belakangan ditangkis
sendiri oleh Gubernur Bali bahwa pihaknya tidak ada niat membubarkan.
Berita tersebut juga tidak cermat. Jika cermat maka dengan sendirinya
Bali Post akan menjelaskan kepada pembaca kapan ucapan itu dilontarkan,
apa latar belakangnya, apa alasannya dan bagaimana mekanisme pembubaran
dimaksud.
2.3 Perspektif Etika Pers
Di Indonesia dikenal dua organisasi wartawan media cetak yang cukup
berpengaruh yaitu Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Aliansi
Jurnalis Independen (AJI). Kedua organisasi kewartawanan ini memiliki
Kode Etik Jurnalistik masing-masing yang menjadi pedoman etik bagi
anggotanya dalam menjalankan tugas-tugas jurnalistiknya.
Berita Bali Post tersebut, dari sisi etika pers, pertama-tama dan
paling utama adalah melanggar ketentuan Pasal 13 Kode Etik Wartawan PWI
atau angka 15 Kode Etik AJI. Pasal 13 KEJ PWI menyebutkan, wartawan
Indonesia tidak melakukan tindakan plagiat, tidak mengutip berita,
tulisan atau gambar tanpa menyebut sumbernya. Sedangkan angka 15 Kode
Etik AJI menyatakan, jurnalis tidak dibenarkan menjiplak. Fakta bahwa
wartawan Bali Post tidak pernah meliput berita dimaksud dan meminta
bahan dari orang lain adalah tindakan plagiat atau menjiplak.
Jika pihak Bali Post paham bahwa berita dimaksud adalah menjiplak dan
tidak benar, maka seyogyanya pada kesempatan pertama Bali Post
langsung mencabut berita dimaksud sebagaimana perintah Pasal 11 Kode
Etik Jurnalistik PWI yang berbunyi:
Wartawan Indonesia dengan kesadaran sendiri secepatnya mencabut atau
meralat setiap pemberitaan yang kemudian ternyata tidak akurat dan
memberi kesempatan hak jawab secara proporsional kepada sumber dan atau
obyek berita.
Kode Etik AJI angka 8 menyebutkan, jurnalis segera meralat setiap
pemberitaan yang diketahuinya tidak akurat. Hingga acara ini
berlangsung, Bali Post tidak pernah meralat atau mencabut berita
dimaksud.
Selain itu, berita Bali Post dimaksud amat kuat terindikasi melakukan
pelanggaran terhadap pasal 2 Kode Etik Jurnalistik PWI yaitu:
Wartawan Indonesia dengan penuh rasa tanggung jawab dan bijaksana
mempertimbangkan patut tidaknya menyiarkan berita, tulisan atau gambar,
yang dapat membahayakan keselamatan dan keamanan negara, persatuan dan
kesatuan, menyinggung perasaan agama, kepercayaan dan keyakinan suatu
golongan yang dilindungi oleh Undang-Undang.
Seharusnya berita yang menonjolkan pembubaran desa pakraman tidak
patut disiarkan karena punya potensi menyinggung perasaan penganut agama
Hindu di Bali. Pasalnya, desa adat di Bali adalah komunitas sosial yang
menjadi wadah pelaksanaan tradisi dan agama Hindu. Lebih-lebih realitas
seorang gubernur mengeluarkan statemen (pun jika benar) amat patut
dipertimbangkan untuk tidak dimuat.
Berita Bali Post dimaksud juga melanggar ketentuan Pasal 3 Kode Etik Jurnalistik PWI yang berbunyi:
Wartawan Indonesia tidak menyiarkan berita, tulisan atau gambar yang
menyesatkan, memutarbalikkan fakta, bersifat fitnah, cabul, sadis dan
sensasi berlebihan.
Berita Bali Post dimaksud dikategorikan berita yang menyesatkan dan
memutarbalikkan fakta, karena persepsi publik yang terbentuk dengan
membaca judul berita seolah-olah gubernur sungguh-sungguh hendak
membubarkan semua desa adat. Padahal faktanya, secara teks dan konteks,
adalah sikap seorang pemimpin masyarakat yang sedang menegur
masyarakatnya untuk tidak terus konflik dan minta agar eksistensi dua
desa adat dievaluasi. Terkesan berita ini juga mengedepankan sensasi
berlebihan dengan menonjolkan judul semacam itu. Padahal dalam tubuh
berita tidak ada penjelasan satu kalimatpun apa, bagaimana dan mengapa
desa adat harus dibubarkan.
Berita Bali Post dimaksud juga melanggar ketentuan Pasal 5 Kode Etik Jurnalistik PWI yang berbunyi:
Wartawan Indonesia menyajikan berita secara berimbang dan adil, mengutamakan kecermatan dari kecepatan…….
Amat jelas berita yang bermasalah ini diolah dengan cara-cara yang
tidak profesional yaitu tidak mengutamakan kecermatan dari sekadar
kecepatan. Jika cermat, seorang redaktur halaman akan kritis bertanya
pada dirinya, apakah benar gubernur berniat membubarkan desa pakraman?
Jika benar apa semua desa pakraman dibubarkan atau hanya dua desa saja?
Lalu apa latar belakangnya gubernur bersikap begitu? Jika ia tidak
menemukan jawaban atas pertanyaan kritis itu, patut dirinya
mempertimbangkan apakah layak dimuat atau dijadikan judul berita.
Berita Bali Post dimaksud juga melanggar ketentuan Pasal 10 Kode Etik Jurnalistik PWI yang berbunyi:
Wartawan Indonesia menempuh cara yang sopan dan terhormat untuk
memperoleh bahan berita, gambar, atau tulisan dan selalu menyatakan
identitasnya kepada sumber berita.
Faktanya adalah, wartawan Bali Post tidak pernah meliput berita
dimaksud dan meminta bahan dari pihak lain. Cara-cara ini selain tidak
sopan dan terhormat juga bertendensi membangun kebohongan publik:
menyatakan seolah-olah dirinya meliput secara langsung, padahal tidak.
Berita Bali Post dimaksud juga melanggar ketentuan Pasal 12 Kode Etik Jurnalistik PWI yang berbunyi:
Wartawan Indonesia meneliti kebenaran bahan berita dan memperhatikan kredibilitas serta kompetensi sumber berita.
Oleh karena tidak meliput langsung, amat jelas Bali Post tidak pernah
meneliti bahan berita, kredibilitas sumber yang berbicara dalam berita
itu serta kompetensinya.
2.4. Telaah atas Rekomendasi Dewan Pers
Berkaitan dengan kasus ini, pihak Mangku Pastika telah mengadukan
persoalan ini ke Dewan Pers. Pada tanggal 11 November 2011, Dewan Pers
mengeluarkan pernyataan penilaian dan rekomendasi atas kasus ini, yang
dimuat secara lengkap sebagai berikut:
Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi (PPR) Dewan Pers Nomor09/PPR-DP/XI/2011
Tentang Pengaduan Gubernur Bali, Made Mangku Pastika, Terhadap Harian Bali Post
Bahwa, Dewan Pers telah menerima pengaduan dari Gubernur Bali, Made
Mangku Pastika, terhadap berita harian Bali Post berjudul: (1)
“Gubernur: Bubarkan Saja Desa Pakraman” pada edisi 19 September 2011;
(2) “Soal Pembubaran Desa Pakraman. Pemimpin Formal Jangan Ikut
Emosional” (20 September 2011); (3) “Gunawan Sesalkan Pernyataan
Gubernur. Mangku Pastika Minta Maaf” (20 September 2011); (4) “Desa
Pakraman Bubar” (21 September 2011); dan (5) “Desa Pakraman Dibubarkan”
(22, 23, 24 September 2011).
Bahwa, terhadap pengaduan tersebut, Dewan Pers telah melakukan
pemeriksaan, meminta klarifikasi dan memediasi kedua belah pihak dalam
pertemuan di Bali pada 9 Oktober 2011 dan di Jakarta pada 31 Oktober
2011.
Bahwa, setelah mempertimbangkan hasil pemeriksaan dan proses
klarifikasi tersebut, Dewan Pers menilai Bali Post mempunyai sumber yang
kredibel untuk memberitakan bahwa Gubernur Bali memang pernah
menyatakan tentang kemungkinan pembubaran atau pencabutan izin Desa
Pakraman yang bertikai, apabila tetap tidak mengindahkan
petunjuk-petunjuk atau saran-saran untuk menyelesaikan sengketa di
antara mereka. Pernyataan Gubernur tersebut diperkuat pula oleh
pernyataan Wakil Bupati Klungkung, Tjokorda Gede Agung, yang disampaikan
kepada Dewan Pers melalui Surat Pernyataan tanggal 8 November 2011.
Bahwa, namun Dewan Pers menilai ada kelemahan dalam berita Bali Post
tersebut, yakni tidak melakukan konfirmasi terhadap sumber kunci, dalam
hal ini Gubernur Bali, Made Mangku Pastika, sebagai sebuah kewajiban
sebagaimana diatur di dalam Kode Etik Jurnalistik, sehingga berita tidak
berimbang.
Bahwa, meskipun Bali Post mempunyai sumber yang kredibel mengenai
ucapan Gubernur Bali, Made Mangku Pastika, untuk diberitakan, tetapi
karena tidak melakukan konfirmasi dan memuat berita yang tidak
berimbang, Dewan Pers berpendapat Bali Post telah melanggar Pasal 3 Kode
Etik Jurnalistik.
Bahwa, berhubung dengan hal tersebut di atas, dan tanpa mengurangi
kelayakan sumber berita yang dimuat, sebagai pers yang bertanggung jawab
dan profesional, Bali Post diwajibkan memberi kesempatan hak jawab
kepada pengadu, cq Gubernur Bali, Made Mangku Pastika.
Demikian Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi Dewan Pers untuk dilaksanakan sebaik-baiknya.
Jakarta, 11 November 2011
Dewan Pers
dto
Prof. Dr. Bagir Manan, SH,. MCL
Ketua
Telah atas rekomendasi Dewan Pers tersebut dapat dipaparkan sebagai berikut:
Pertama, Dewan Pers tidak cukup cermat memeriksa perkara ini untuk
bisa menemukan fakta bahwa berita Bali Post tersebut digali dan
diperoleh dengan cara-cara yang tidak benar, tidak layak sebagai kerja
jurnalistik.
Kedua, Dewa Pers menyatakan meskipun Bali Post mempunyai sumber yang
kredibel mengenai ucapan Gubernur Bali, Made Mangku Pastika, untuk
diberitakan, tetapi karena tidak melakukan konfirmasi dan memuat berita
yang tidak berimbang, Pendapat ini menunjukkan bahwa Dewan Pers menilai
Bali Postmemperoleh informasi dari sumber kedua yang kredibel (bukan
langsung dari sumber pertama Mangku Pastika). Pendapat ini terbantahkan
jika kita membedahnya dalam teks berita dimaksud. Amat jelas seluruh
rangkaian kalimat dalam berita (termasuk judul Gubernur: Bubarkan Desa
Pakraman), menunjukkan bahwa Bali Post memperolehnya dari sumber pertama
atau meliput langsung. Jika Bali Post memperoleh bahan dari seorang
wakil bupati Klungkung misalnya (sebagai sumber kedua) maka tentu
penulisannya akan lain. Tidak akan ada kutipan langsung ucapan gubernur.
Tidak ada judul dengan kutipan langsung. Karena dari sumber pertama
maka tidak relevan lagi diminta konfirmasi.
Ketiga, seharusnya Dewan Pers juga memaparkan dengan rinci sejumlah
pelanggaran lain terutama Kode Etik Jurnalistik yang nyata-nyata
dilakukan Bali Post. Patut diduga, Dewan Pers tidak cukup bernyali
menguliti dan membedah secara jernih kasus ini oleh karena salah satu
anggotanya adalah pihak yang berperkara (sebagaimana diketahui ABG
Satria Naradha, Pemimpin Umum Bali Post adalah salah seorang dari
sembilan anggota Dewan Pers).
2.5 Solusi Damai
Berangkat dari paparan di atas, dapat disampaikan langkah-langkah
solusi damai atas kasus ini berangkat dari perspektif hukum dan etika
pers, sebagai berikut:
Pertama, Bali Post hendaknya melaksanakan amanat pasal 11 Kode Etik
Jurnalistik dengan mencabut secara sadar berita tersebut dan meminta
maaf kepada publik bahwa wartawannya tidak pernah meliput kegiatan itu.
Kedua, Mangku Pastika menggunakan hak jawab terhadap berita harian
Bali Post berjudul: (1) “Gubernur: Bubarkan Saja Desa Pakraman” pada
edisi 19 September 2011; (2) “Soal Pembubaran Desa Pakraman. Pemimpin
Formal Jangan Ikut Emosional” (20 September 2011); (3) “Gunawan Sesalkan
Pernyataan Gubernur. Mangku Pastika Minta Maaf” (20 September 2011);
(4) “Desa Pakraman Bubar” (21 September 2011); dan (5) “Desa Pakraman
Dibubarkan” (22, 23, 24 September 2011). Pihak Bali Post agar memberikan
kesempatan pemuatan hak jawab di halaman yang sama dengan porsi halaman
yang sama sebagaimana diatur oleh Surat Edaran Dewan Pers.
Ketiga, Mangku Pastika dengan berbesar hati mencabut seluruh gugatan
perdata dan mengurungkan melakukan gugatan pidana karena berpotensi
membangkrutkan Bali Post dengan nilai gugatan sebesar Rp 150 milyar itu.
Selanjutnya kedua belah pihak melakukan perdamaian dan beritikad baik
untuk menjadikan kasus ini pembelajaran politik dan hukum.***
[1] Judul makalah yang disajikan pada Diskusi Terbatas yang
diselenggarakan Program Pascasarjana Kajian Budaya Universitas Udayana,
pada tanggal 24 Januari 2012.
[2] Alumnus Program Strata 2 Kajian Budaya Universitas Udayana tahun
2007, pernah menjadi wartawan dan redaktur selama 10 tahun dan kini
anggota Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia masa bakti 2007-2012.
salam klikus...
sumber : metrobali.com