Indonesia
telah lama dikenal sebagai negara agraris yang sangat subur.
Mayoritas penduduknya (sekitar 60% dari total populasi) hidup dari
sektor pertanian dan bekerja sebagai petani, pekebun, peternak dan
nelayan. Sebagai negara yang kaya akan hasil bumi maka Indonesia
memliki potensi alam yang sangat besar, yang dapat dieksplorasi
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Di Indonesia ditemukan
tidak kurang dari 945 jenis tanaman asli Indonesia yang terbagi
menjadi 77 jenis sumber karbohidrat, 75 jenis sumber lemak/minyak, 26
jenis kacang-kacangan, 389 jenis buah-buahan, 228 jenis sayuran, 40
jenis bahan minuman, 110 jenis rempah-rempah dan bumbu-bumbuan, serta
17% species dunia ditemukan di Indonesia. Namun dari potensi alam
yang sangat besar tersebut ternyata masih banyak jenis sumber daya
alam yang belum dapat diolah dan dimanfaatkan secara optimal oleh
bangsa Indonesia sendiri. Ironisnya, sebagian besar kebutuhan pangan
telah tergantung impor dari negara lain.
Menurut beberapa sumber disebutkan bahwa komoditas dan jumlah impor
bahan pangan seperti beras 3,7 juta ton, gandum 4,5 juta ton, gula 1,6
juta ton, kedelai 1,3 juta ton, bungkil kedelai 1 juta ton, jagung
1,3 juta ton, ternak sapi 450,000 ekor, daging dan jeroan 42 ribu
ton, dan susu, mentega, keju : 170 ribu ton setiap tahunnya. Data
tersebut menggambarkan pemanfatan potensi alam yang kurang optimal
atau karena tingginya tingkat kebutuhan akibat jumlah penduduk yang
besar, sehingga kebutuhan pangan tidak dapat dipenuhi dari produksi
dalam negeri sendiri. Bahkan beberapa waktu yang lampau kita semua
tersentak dan kaget oleh berita baik di televisi maupun mass media
lain karena masih ada sebagian dari warga negara ini meskipun hidup
di alam merdeka 61 tahun silam, ternyata masih ada yang mengalami
gizi buruk. Di sisi lain, sebagai negara agraris tentu Indonesia
memiliki peluang agribisnis yang sangat besar, antara lain karena
didukung Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang
memadai. Dari segi SDM, jumlah penduduk di Indonesia tercatat nomor
empat terbesar di dunia. Pada tahun 2000, populasi penduduk Indonesia
mencapai 210 juta dan pada tahun 2035 diperkirakan mencapai 400
juta.
Dengan jumlah penduduk yang sangat besar tersebut maka secara
otomatis merupakan potensi pasar yang luar biasa khususnya dalam hal
pemenuhan kebutuhan pangan termasuk kebutuhan pangan hewani asal
peternakan. Dalam konteks ini peluang agribisnis peternakan terbuka
luas dalam penyediaan kebutuhan konsumsi pangan dan ini merupakan
salah satu tantangan nyata yang sekaligus peluang bagi para Sarjana
Peternakan. Salah satu peluang dalam upaya peningkatan produksi
pangan dalam negeri adalah pemanfaatan lahan kering.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa Indonesia masih mempunyai
potensi lahan khususnya lahan kering (60 juta ha) yang sangat luas untuk
pengembangan pertanian termasuk peternakan. Namun yang menjadi
pertanyaan adalah bagaimana memanfaatkan lahan marginal (lahan kering)
secara optimal dan apakah SDM kita sudah siap, serta strategi apa yang
harus dilakukan untuk mempersiapkan SDM dalam pengembangan usaha
peternakan yang berdaya saing di kawasan lahan tersebut ?
Usaha agribisnis pada umumnya dan khususnya usaha peternakan apalagi
di lahan kering sampai saat ini masih belum efisien dan belum berdaya
saing. Untuk membangun daya saing, usaha peternakan harus
berorientasi pada pasar yaitu meliputi price, quality dan value.
Persaingan pasar yang ketat menuntut pelaku bisnis untuk mampu
mengatasi dan menyiasatinya dengan cara menghasilkan produk dengan
harga yang relatif terjangkau dengan tetap mempertahankan kualitas
yang baik. Sistem usaha tani yang seadanya dan secara tradisional
belum menghasilkan keuntungan yang menggembirakan. Petani lahan
kering tidak mungkin hidup jika ekonomi rumah tangganya hanya
tergantung kepada hasil tanaman. Oleh karena itu, pendekatan yang
tepat untuk menjawab tantangan tersebut di atas adalah melalui
pendekatan sistem usahatani yang memadukan komoditas tanaman
pangan/semusim dengan tanaman tahunan dan ternak dalam suatu model
usahatani yang serasi dengan mempertimbangkan ketersediaan sumber
daya yang dimiliki petani. Sistem usaha tani terpadu ini diarahkan untuk
memperpanjang siklus biologis dengan mengoptimalkan lahan, hasil
samping pertanian, perkebunan dan peternakan sehingga setiap mata
rantai siklus menghasilkan produk baru yang bernilai ekonomis
(hutan-tanaman pertanian-pakan-ternak).
Di
samping upaya pengembangan usaha secara terpadu, kunci keberhasilan
bisnis peternakan sangat tergantung pada SDM sebagai kunci utama
dengan didukung oleh minimal tiga pilar pendukung yaitu 1)
lingkungan, 2) modal, dan 3) teknologi. Dari pilar pendukung yang
berupa lingkungan, peranan pemerintah sangat fundamental. Diharapkan
pemerintah mempunyai komitmen politik yang kuat untuk mengembangkan
agribisnis peternakan melalui misalnya penerbitan peraturan
perundang-undangan yang memberikan kepastian hukum dalam pembangunan
peternakan yang sinergis dengan peraturan perundang undangan lain
yang terkait, menciptakan iklim usaha yang kondusif (keamanan),
menyediakan sarana-prasarana transportasi dan komunikasi, dan adanya
jaminan hukum atas penguasaan lahan untuk peternakan.
Dari
segi modal, peran lembaga keuangan baik perbankan maupun lembaga
keuangan non-bank diharapkan mendukung dalam upaya-upaya penguatan modal
untuk pengembangan agribisnis peternakan. Selama ini ada indikasi
bahwa pihak perbankan enggan menyalurkan kredit kepada usaha-usaha
peternakan karena investasi di bidang peternakan dipandang cukup
berisiko bila dibandingkan dengan jenis usaha lain. Penguatan modal
sangat diperlukan untuk dapat meningkatkan aset bagi peternak dan
pengusaha peternakan. Kebijakan penguatan modal harus lebih berpihak,
dengan skim-skim tertentu yang favorable bagi pengembangan bisnis
peternakan. Apabila kita bandingkan dengan kebijakan penguatan modal
yang terjadi di negara tetangga seperti Australia dan Thailand
sangatlah kurang berpihak pada pelaku bisnis peternakan di Indonesia.
Di Australia, untuk usaha peternakan sapi potong pemerintah
memberikan alokasi kredit cukup besar dengan tingkat suku bunga
kurang dari 8% per tahun dan lama kredit antara 15-20 tahun.
Kebijakan ini sangat membantu peternak sapi potong di Australia untuk
memiliki aset yang cukup sehingga akhirnya berdaya saing tinggi.
Demikian pula pengembangan ternak (sapi perah) di Thailand, kebijakan
pemerintah dalam penguatan modal sangat menguntungkan peternak.
Kalau kita bandingkan dengan kondisi di Indonesia, kebijakan
penguatan modal masih belum memihak, karena sebagai contoh kredit
ketahanan pangan, jangka waktu pengembalian kredit maksimal 3 tahun
dengan tingkat suku bunga komersial (>12% per tahun). Kondisi
demikian ini tidak memungkinkan petani-peternak memiliki aset yang
cukup, sehingga daya saingnya tentu sangat rendah.
Upaya mendorong SDM menuju ke arah entrepreneur (agropreneur) baik
yang masih berpendidikan rendah maupun yang telah berpendidikan
tinggi (D3, S1) khususnya para Sarjana Peternakan untuk meniti karier
di dunia bisnis peternakan-pertanian perlu terus dilakukan dan dalam
hal ini Perguruan Tinggi mempunyai peran yang signifikan. Pendidikan
Tinggi Peternakan perlu membekali lulusannya dengan knowledge,
skill, ability dan attitude yang cukup di samping entrepreneurships
maupun leaderships.
Di
samping melalui jalur pendidikan untuk menghasilkan lulusan dan SDM
yang qualified dan berjiwa entrepreneur, satu hal yang harus
dilakukan terutama oleh pemerintah adalah perlunya pemberian
"insentif" bagi pelaku usaha yang bersedia membangun usaha di kawasan
lahan kering. Insentif dapat diterapkan misalnya dengan penerapan
keringanan pajak, kemudahan-kemudahan dalam pengurusan usaha,
perlindungan hukum dan pembangunan sarana-prasarana yang menunjang
usaha. Penerapan insentif ini akan dapat mendorong SDM yang
berkualitas dan berdedikasi untuk tetap bersedia tinggal dan hidup
membangun daerah lahan kering dan secara tidak langsung akan
mengurangi arus urbanisasi.
Usaha pengembangan ternak tidak hanya perlu modal, bibit unggul,
pasar dan sarana prasarana akan tetapi sangat membutuhkan SDM yang
tangguh dan andal, bermotivasi tinggi, trampil dalam mengelola usaha,
tanggap terhadap permintaan pasar, dan responsif terhadap teknologi
baru. Inilah tantangan riil para Sarjana Peternakan Indonesia untuk
dapat mengoptimalkan lahan marginal yang masih undertulized melalui
pengembangan usaha peternakan sehingga masalah kemiskinan dan gizi
buruk perlahan tapi pasti akan dapat diatasi.
salam klikus...
Kamis, 11 April 2013
Unik banget, peternakan unik
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar